AL UMM HALAMAN 1-7

RINGKASAN AL UMM: MUQODDIMAH

(Bagian I, Halaman 1-7)

Oleh: Agus Itsna Arwani

(Pengasuh PP Darul ‘Ulum Selotumpuk Wlingi Blitar)

 

Allah SWT berfirman di dalam Al Qur’an (Q.S. Al-An’am ayat 1):

߉ôJptø:$#¬!“Ï%©!$#t,n=y{ÏNºuq»yJ¡¡9$#uÚö‘F{$#urŸ@yèy_urÏM»uHä>—à9$#u‘q‘Z9$#ur(¢OèOtûïÏ%©!$#(#rãxÿx.öNÍkÍh5tÎ/šcqä9ω÷ètƒÇÊÈ

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan-kegelapan dan cahaya (terang). Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya dalam keadaan manusia terbagi menjadi dua golongan (macam):

  1. Ahlu Kitab

            Mereka adalah orang-orang yang mengganti hukum-hukum Allah, mengkufuri-Nya, berbuat dusta dan mempermainkan kata-kata. Mereka mencampuradukkan kebenaran yang Allah turunkan kepada mereka.

Allah berfirman tentang kekufuran mereka:

1)    Q.S. Ali Imran, Ayat: 78

¨bÎ)uróOßg÷ZÏB$Z)ƒÌxÿs9tb¼âqù=tƒOßgtFt^Å¡ø9r&É=»tFÅ3ø9$$Î/çnqç7|¡óstGÏ9z`ÏBÉ=»tGÅ6ø9$#$tBuruqèdšÆÏBÉ=»tGÅ3ø9$#šcqä9qà)tƒuruqèdô`ÏBωYÏã«!$#$tBuruqèdô`ÏBωYÏã«!$#tbqä9qà)tƒur’n?tã«!$#z>ɋs3ø9$#öNèdurtbqßJn=ôètƒÇÐÑÈ

Artinya: “Sesungguhnya diantara mereka ada sekelompok orang yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, Padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta atas (nama) Allah sedang mereka mengetahui.”

2)    Q.S. Al Baqarah, Ayat: 79

×@÷ƒuqsùtûïÏ%©#Ïj9tbqç7çFõ3tƒ|=»tGÅ3ø9$#öNÍk‰Ï‰÷ƒr’Î/§NèOtbqä9qà)tƒ#x‹»ydô`ÏBωYÏã«!$#(#rçŽtIô±uŠÏ9¾ÏmÎ/$YYyJrOWxŠÎ=s%(×@÷ƒuqsùNßg©9$£JÏiBôMt6tGŸ2öNÍgƒÏ‰÷ƒr&×@÷ƒururNßg©9$£JÏiBtbqç7Å¡õ3tƒÇÐÒÈ

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.”

3)    Q.S. At-Taubah, Ayat 30-31

4)    Q.S. An-Nisaa’, Ayat 51-52

  1. Golongan yang Kufur kepada Allah

            Mereka adalah orang-orang yang membuat-buat sesuatu yang tidak diizinkan Allah. Mereka membuat dengan tangan mereka sendiri patung dari batu dan kayu yang mereka anggap bagus. Mereka beri nama patung-patung itu dan menganggapnya Tuhan yang disembah. Jika mereka menemukan benda baru yang dianggap lebih baik, patung yang lama dibuang. Lalu mereka menyembah hal yang baru tersebut. Mereka itulah orang arab (jahiliyah). Selain mereka, yakni orang ‘ajam (non arab), juga ada yang menyembah macam-macam sesembahan seperti mereka. Diantara yang disembahnya adalah ikan, hewan, bintang, api dsb.

Allah berfirman menceritakan kata-kata mereka:

1)    Q.S. Az-Zukhruf, Ayat: 23

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23)

Artinya: “…. Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.

2)    Q.S. Nuh, Ayat: 23-24

3)    Q.S. Maryam, Ayat: 41-42

4)    Q.S. As-Syu’araa’, Ayat: 69-73

Allah menyampaikan bahwa Dia sudah memperingatkan kepada mereka, sebagai nikmat dari-Nya, akan kesesatan mereka itu. Allah memeberitahukan kesesatan mereka secara umum. Dan mengabarkan bahwa anugerah-Nya diberikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka.

Q.S. Ali Imran, Ayat: 103

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103)

Artinya: “…. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.”

Kemudian Allah menyelamatkan mereka dengan mengutus Nabi-Nya yang mulia Muhammad SAW.

1)    Q.S. Al Baqarah, Ayat: 213

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ

Artinya: “Manusia itu (dahulu) adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan….”

2)    Q.S. At-Taubah, Ayat: 128

3)    Q.S. As-Syuuraa, Ayat: 7

4)    Q.S. As-Syu’araa’, Ayat: 214

5)    Q.S. Az-Zukhruf, Ayat: 44

Imam Syafi’I meriwayatkan (bil ma’na)

  1. Utusan Allah yang terakhir (Nabi Muhammad SAW) itu berasal dari kaum arab, suku Quraisy. Rasulullah, awalnya, diperintahkan untuk memberi peringatan khusus kepada kaumnya dan kerabat dekatnya saja. Baru sesudah itu, kepada makhluk semuanya.
  2. Kerabat terdekat Rasulullah SAW adalah Bani ‘Abdi Manaf.
  3. Rasulullah diangkat sebutannya oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Maksudnya “diangkat” menurut Mujahid disebut dalam syahadat. Penjabarannya, Nabi selalu disebut dalam iman, adzan, ketika membaca Al Qur’an, melakukan taat dan berhenti dari maksiat.

Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin Wa ‘Ala Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam

Allah menurunkan kitab-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman di dalam surat Fusshilat ayat 41-42:

وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ (41) لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ (42)

Artinya: “…. Dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia.(41) Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Zat yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.(42)”

Semua yang diturunkan Allah di dalam kitab-Nya adalah rahmat dan hujjah yang dimengerti oleh orang yang alim (mengetahui) tentangnya. Sementara manusia bertingkat-tingkat derajat keilmuannya. Maka hendaknya manusia:

  1. Bersungguh-sungguh memperbanyak ilmu
  2. Bersabar atas ujian dan cobaan di dalam mencari ilmu
  3. Ikhlas karena Allah dalam niatnya mencari ilmu
  4. Memohon pertolongan kepada Allah SWT.

Barang siapa menemukan ilmu tentang hukum-hukum Allah di dalam kitab-Nya kemudian mengamalkannya maka dia memperoleh keutamaan di dalam agama dan dunianya, hilang ragu-ragu (dalam imannya), bersinar hikmah dari dalam hatinya dan berhak menduduki tempat (derajat) pemimpin (imamah) di dalam agamanya.

Imam Syafi’i RA berkata (bil ma’na): “Tidaklah turun suatu perkara kepada salah seorang dari ahli agama Allah kecuali ada dalil di dalam Al Qur’an yang memberi petunuk mengenainya.”

Allah SWT berfirman di dalam Q.S. Ibrahim ayat 1:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (1)

Artinya: ”(Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”

Q.S. An-Nahl ayat 44:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)

Artinya: “…. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

Q.S. An-Nahl ayat 89:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (89)

Artinya: “…. Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

Q.S. As-Syuura ayat 52-53:

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (52) صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ (53)

Artinya: “Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”(52)

“(Yaitu) jalan Allah yang Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.”(53)

 

(Bersambung Ke Bab: KAIFA AL BAYAN)

BIOGRAFI IMAM SYAFI’I

MUQODDIMAH AL UMM LI AS-ASYAFI’I

BIOGRAFI IMAM SYAFI’I

Oleh: AGUS ITSNA ARWANI

(Pengasuh PP Darul Ulum Selotumpuk Blitar)

 

  1. NASAB DARI PIHAK BAPAK

            Beliau bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Abid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Mutholib bin Abdu Manaf bin Qushoy bin Kilab bin Murrah.

Kunyah beliau adalah Abu Abdullah (bapaknya Abdullah) dikarenakan salah seorang anak beliau yang bernama Abdullah. Nasab Imam Syafi’i bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada Abdu Manaf bin Qushoy. Sedangkan Hasyim kakek Imam Syafi’i bukanlah kakek dari Rasulullah SAW.

 

  1. NASAB DARI PIHAK IBU

Ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW dan Imam Syafi`I RA.

 

  1. KELAHIRAN IMAM SYAFI’I

Diriwayatkan bahwa ketika beberapa hari setelah ibunda Imam Syafi’i melahirkan terdengar kabar dari Baghdad tentang meninggalnya Imam Abu Hanifah. Tatkala diteliti dengan seksama ternyata hari meninggalnya Imam Abu Hanifah bertepatan dengan saat lahirnya Imam Syafi’i. Para ulama waktu itu mengisyaratkan bahwa Muhammad yang baru lahir kelak akan mengikuti derajat keilmuan Imam Abu Hanifah.

Ada beberapa hadits Rasulullah SAW yang diyakini para ulama mengisyaratkan kedatangan Imam Syafi’I RA.

  1. Hadits dari Ibnu Mas’ud beliau berkata: “Rasulullah SAW telah bersabda: janganlah kamu mencaci-maki Quraisy karena orang alim Quraisy itu ilmunya akan memenuhi bumi. Ya Allah, Engkau telah memberi siksaan pada awal Quraisy, maka berilah anugerah pada akhir Quraisy.”
  2. Hadits dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata: “Rasulullah SAW telah bersabda: jangan kamu mengimami orang Quraisy dan bermakmumlah kamu pada mereka. Jangan mendahului Quraisy akan tetapi dahulukanlah mereka. Jangan kamu mengajari Quraisy tetapi belajarlah dari mereka karena ilmu orang alim Quraisy akan menyebar ke seluruh dunia,”

 

  1. PENDIDIKAN IMAM SYAFI’I

Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan kondisi keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, keadaan itu membuat beliau makin giat menuntut ilmu. Pada umur 9 tahun beliau telah hafal Al Quran seluruhnya. Beliau banyak berdiam di Masjid al-Haram dimana beliau menuntut ilmu pada para ulama dalam berbagai bidang ilmu.

Beliau mencatat ilmu-ilmu yang telah diperolehnya pada kertas-kertas, kulit dan tulang binatang. Hingga pada suatu hari kamar tempat istirahatnya penuh oleh kertas, kulit dan tulang. Maka seluruh catatan pada benda-benda itu dihafal olehnya seluruhnya, lalu setelah itu benda-benda tersebut dibakarnya.

Kekuatan hafalan Imam Syafi’i   sangat mencengangkan. Sampai-sampai seluruh kitab yang dibaca dapat dihafalnya. Ketika beliau membaca satu kitab beliau berusaha menutup halaman yang kiri dengan tangan kanannya karena khawatir akan melihat halaman tersebut sebelum menghafalnya.

Mengenai hal ini beliau bercerita: bahwa beliau pernah bermimpi bertemu Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW berkata kepadanya: “Siapa kamu hai anak muda?”  Imam Syafi’i berkata: “Aku termasuk umatmu, ya Rasulullah.”  Rasul berkata: “Mendekatlah padaku!”

Imam Syafi’i lalu mendekat kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah mengambil air liurnya dan meletakkan air liur itu ke dalam mulut dan bibir Imam Syafi’i. Setelah itu Rasulullah SAW bersabda padanya: “Berangkatlah! Semoga Allah memberkahimu!”  Setelah mimpi itu, beliau tak pernah merasa kesulitan dalam menghafal ilmu.

Beliau juga telah mencapai kemampuan berbahasa yang sangat indah. Kemampuan beliau dalam menggubah syair dan ketinggian mutu bahasanya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sangat tinggi oleh orang-orang alim yang sezaman dengan beliau.

Demikian tinggi prestasi-prestasi keilmuan yang telah beliau capai dalam usia yang masih sangat belia, sehingga guru-gurunya membolehkan beliau untuk berfatwa di Masjid al-Haram ketika beliau bahkan baru mencapai usia 15 tahun.

 

  1. GURU-GURU IMAM SYAFI’I
  2. Muslim bin Khalid al-Zanji, seorang Mufti Makkah pada tahun 180 H. yang bertepatan dengan tahun 796 M. dia adalah maula Bani Makhzum.
  3. Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah, dia adalah salah seorang yang terkenal kejujuran dan keadilannya.
  4. Ibrahim bin Yahya, salah satu ulama di Madinah.
  5. Malik bin Anas, Imam Syafi`i pernah membaca kitab al-Muwatha` kepada Imam Malik sesudah dia menghafalnya diluar kepala, kemudian dia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat pada tahun 179 H. bertepatan dengan tahun 795 M.
  6. Waki` bin Jarrah bin Malih al-Kufi.
  7. Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi
  8. Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri.

 

  1. RUMAH TANGGA IMAM SYAFI’I

Istri Imam Syafi’i

Dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti Nafi` bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan.

Anak-Anak Imam Syafi’i

  1. Abu Usman Muhammad, dia seorang hakim di kota Halib, Syam (Syiria).
  2. Fatimah.
  3. Zainab.

 

  1. KELEBIHAN IMAM SYAF’I DAN PUJIAN ULAMA TERHADAPNYA

Keistimewaan Imam Syafi`i

  1. Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab.
  2. Kekuatan menghafal dan kedalaman pemahaman serta kecerdasan yang luar biasa.
  3. Memiliki keilmuan yang mendalam tentang sunnah Nabi sehingga dapat membedakan antara sunnah yang shahih dan yang dha`if.
  4. Memiliki keilmuan yang mendalam dalam bidang ushul fiqih: mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang umum dan yang khusus.
  5. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi`i. Dia adalah manusia yang paling memahami kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW serta sangat peduli terhadap hadits beliau.
  6. Husain bin Ali bin Yazid berkata: “Imam Syafi`i adalah rahmat bagi umat Nabi Muhammad SAW.
  7. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kami tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandai dalam bidang fiqih (faqih) terhadap al-Qur`an daripada orang quraisy ini, dia adalah Muhammad bin Idris As Syafi`i.

 

Sikap Rendah Hati yang dimiliki Imam Syafi`i

Imam Syafi’i adalah seorang yang taqwa,  zuhud dan wara’. Beliau juga sangat santun dalam memberi peringatan kepada orang yang melakukan kesalahan. Hatinya sangat lembut dan dermawan terhadap harta.

Baihaqi meriwayatkan dari Hasan bin Habib. Dia berkata: “Aku melihat Imam Syafi’i menunggang kuda melewati pasar sepatu. Tiba-tiba cambuknya jatuh dan mengenai salah seorang pedagang sepatu. Lalu pedagang sepatu itu mengusap cambuk untuk membersihkannya dan memberikan cambuk itu pada beliau. Imam Syafi’i lalu menyuruh budaknya untuk memberikan uangnya pada pedagang itu.”

Tiada hari yang dilewati beliau tanpa bershadaqah. Siang dan malam beliau selalu bershadaqah, Apalagi di bulan Ramadhan. Beliau juga sering mengunjungi fakir miskin dan menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka. Untuk menafkahi keluarganya beliau berdagang.

Imam Syafi’i sangat baik dalam memperlakukan kerabat-kerabatnya. Beliau menghormati mereka dan tidak menyombongkan dirinya. Beliau menghormati orang sesuai posisinya. Imam Syafi’i pernah berkata: “Paling zhalimnya orang adalah ia yang menjauhi kerabatnya, tidak mau tahu terhadap mereka, meremehkan dan sombong kepada orang yang memiliki keutamaan.”

Beliau juga senantiasa memaafkan orang yang berbuat kesalahan kepadanya. Beliau membalas kejahatan dengan kebaikan dan tidak pernah menyimpan dendam kepada seseorang.

 

Pujian Ahmad Bin Hanbal Kepada Imam Syafi’i

Sewaktu di Baghdad, Imam Syafi’i selalu bersama Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cintanya pada Imam Syafi’i, sehingga putra-putri Imam Ahmad merasa penasaran kepada guru dari bapaknya itu. Putri Imam Ahmad memintanya untuk mengundang Imam Syafii bermalam di rumah untuk mengetahui perilaku beliau dari dekat. Imam Ahmad bin Hanbal lalu menemui Imam Syafi’i dan menyampaikan undangan itu.

Ketika Imam Syafi’i telah berada di rumah Ahmad, putrinya lalu membawakan hidangan. Imam Syafi’i memakan banyak sekali makanan itu dengan sangat lahap. Ini membuat heran putri Imam Ahmad bin Hanbal.

Setelah makan malam, Imam Ahmad bin Hanbal mempersilakan Imam Syafi’i untuk beristirahat di kamar yang telah disediakan. Putri Imam Ahmad melihat Imam Syafi’i langsung merebahkan tubuhnya dan tidak bangun untuk melaksanakan shalat malam. Pada waktu subuh tiba beliau langsung berangkat ke masjid tanpa berwudhu terlebih dulu.

Sehabis shalat subuh, putri Imam Ahmad bin Hanbal langsung protes kepada ayahnya tentang perbuatan Imam Syafi’i, yang menurutnya kurang mencerminkan keilmuannya. Imam Ahmad yang menolak untuk menyalahkan Imam Syafi’i, langsung menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i.

Mengenai hidangan yang dimakannya dengan sangat lahap beliau berkata: “Ahmad, memang benar aku makan banyak, dan itu ada alasannya. Aku tahu hidangan itu halal dan aku tahu kau adalah orang yang pemurah. Maka aku makan sebanyak-banyaknya. Sebab makanan yang halal itu banyak berkahnya dan makanan dari orang yang pemurah adalah obat. Sedangkan malam ini adalah malam yang paling berkah bagiku.”

“Kenapa begitu, wahai guru?”

“Begitu aku meletakkan kepala di atas bantal seolah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. digelar di hadapanku. Aku menelaah dan telah menyelesaikan 100 masalah yang bermanfaat bagi orang islam. Karena itu aku tak sempat shalat malam.”

Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada putrinya: “inilah yang dilakukan guruku pada malam ini. Sungguh, berbaringnya beliau lebih utama dari semua yang aku kerjakan pada waktu tidak tidur.”

Imam Syafi’i melanjutkan: “Aku shalat subuh tanpa wudhu sebab aku masih suci. Aku tidak memejamkan mata sedikit pun .wudhuku masih terjaga sejak isya, sehingga aku bisa shalat subuh tanpa berwudhu lagi.”

Dilain kesempatan Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “aku tidak pernah shalat sejak 40 tahun silam kecuali dalam shalatku itu aku berdoa untuk Imam Syafi’i.”

 

  1. PERJALANAN HIDUP IMAM SYAFI’I

Kepergian Imam Syafi’i ke Madinah

Imam Syafi’i hidup sejaman dengan Imam Malik bin Anas, seorang ulama besar pendiri madzhab Maliki. Imam Malik bin Anas juga dikenal sebagai Ahli Hadits. Beliau menghimpun hadits-hadits nabi dalam kitab beliau yang berjudul Muwattha’. Imam Syafi’i pernah meminjam kitab Muwattha’ pada salah seorang penduduk Mekkah dan menghafalnya dalam waktu singkat. Imam Syafi’i rindu untuk melihat Imam Malik di Madinah Al Munawwarah dan berharap dapat mengambil manfaat dari ilmu beliau.

Maka pada suatu hari berangkatlah Imam Syafi’i ke Madinah dengan niat untuk menuntut ilmu. Dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah beliau mengkhatamkan bacaan Al Qur’an sebanyak 16 kali. Malam satu kali khatam dan siangnya satu kali. Pada hari ke delapan beliau tiba di Madinah setelah shalat ashar. Beliau shalat di Masjid Nabawi dan berziarah terlebih dahulu ke makam Rasulullah SAW.. Setelah itu baru beliau menuju kediaman Imam Malik bin Anas.

Ketika Imam Syafi’i menghadap Imam Malik, beliau berkata: “mudah-mudahan Allah selalu memberimu kebaikan. Aku adalah seorang penuntut ilmu. Kondisi dan ceritaku begini dan begini.”

Mendengar perkataan itu Imam Malik merasa kasihan dan bertanya kepadanya: “siapa namamu?”  menjawab: “Muhammad.” Imam Malik berkata kepadanya; “Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, hindarilah maksiat. Aku melihat di hatimu ada cahaya. Karena itu janganlah kamu padamkan cahaya itu dengan maksiat. Sesungguhnya cahaya itu akan menjadikanmu dibutuhkan oleh manusia. “ Imam Syafi’i menjawab: “Ya.” Imam Malik lalu berkata: “kalau besok kamu masih ada, kami akan mengajarkanmu kitab Muwattha’.”

Imam Syafi’i berkata: “Wahai tuanku, aku telah membaca kitab Muwattha’ sampai hafal.” “Bacalah!” lalu Imam Syafi’i membaca dan Imam Malik menyimaknya. Ketika Imam Syafi’i khawatir Imam Malik lelah, maka beliau berhenti. Dan Imam Malik lalu berkata: “Teruskan wahai anak muda, aku akan memperbaiki bacaanmu.” Demikianlah, maka aktivitas harian Imam Syafi’i adalah membaca kitab Muwattha’ dibawah bimbingan Imam Malik.

 

Kepergian Imam Syafi’i ke Iraq

Pada waktu Imam Syafi’i telah menyelesaikan pelajarannya pada Imam Malik, beliau mendengar kabar tentang Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang adalah murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yang sedang berada di Iraq yaitu di kota Kufah. Beliau ingin sekali bertemu dengan mereka berdua. Maka Imam Syafi’i lantas memohon izin kepada Imam Malik untuk pergi ke Iraq.

Di Kufah, begitu berjumpa dengan Abu Yusuf  dan Muhammad bin Hasan, mereka berdua sangat gembira dengan kedatangan Imam Syafi’i. Mereka bertanya kepada beliau tentang Imam Malik bin Anas. Beliau berkata: “Aku telah datang kepadanya.” Salah satu dari keduanya berkata: “apakah kamu melihat kitab Muwattha’?” Imam Syafi’i menjawab: “Aku telah menghafal kitab tersebut dalam lubuk hatiku.”

Itu semua telah membuat Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf menaruh hormat kepada Imam Syafi’i. Muhammad bin Hasan lalu bertanya kepada beliau tentang masalah thaharah, zakat, jual beli, dan masalah lainnya yang dijawab dengan jawaban yang sangat bagus oleh Imam Syafi’i. Bertambah kagumlah Muhammad bin Hasan pada beliau. Kemudian ia mengajak Imam Syafi’i ke rumahnya dan mengizinkan Imam Syafi’i untuk menyalin kitab apa saja yan dia inginkan yang ada di perpustakaan miliknya.

Selama di Kufah, Imam Syafi’i menjadi tamu Muhammad bin Hasan. Ketika beliau telah selesai mempelajari kitab-kitab di perpustakaan Muhammad bin Hasan, beliau lantas mohon izin untuk meneruskan perjalanan menuju Persia dan kota-kota disekitarnya. Kemudian beliau kembali ke Madinah.

 

Kembali ke Madinah

Sampai di Madinah, setelah berziarah ke makam Rasulullah SAW., beliau lantas menuju pengajian Imam Malik. Ketika Imam Malik mengetahui kehadiran Imam Syafi’i, beliau memanggilnya dan memeluknya dengan penuh kerinduan. Murid-murid Imam Malik yang lain merasa terharu melihat peristiwa ini. Imam Malik lalu membawa Imam Syafi’i duduk di sisinya. Beliau berkata: “Pelajarilah ini, wahai Syafi’i.” Setelah menyelesaikan pelajaran itu, Imam Malik mengajak Imam Syafi’i ke rumahnya.

Imam Syafi’i tinggal selama beberapa tahun di Madinah. Selama itu beliau senantiasa mendapat perlakuan yang istimewa dan sangat diperhatikan oleh gurunya. Pada bulan Rabi’ul awwal tahun 179 H Imam Malik bin Anas wafat dan dimakamkan  di pemakaman Baqi’ di kota Madinah. Seluruh penduduk Madinah tenggelam dalam duka cita karena meninggalnya Imam yang sangat alim dan mulia ini.

Setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i masih tinggal beberapa lama di Madinah. Beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmunya di sana.

Berita tentang keluasan ilmu beliau segera saja menyebar ke seluruh negeri. Orang berduyun-duyun datang untuk menyimak pelajaran yang beliau sampaikan. Ketinggian ilmu dan ma’rifahnya, baik itu dibidang fiqh, hadits, filsafat, kedokteran, ilmu falak dan lain-lain membuat khalifah Harun al-Rasyid mengundang beliau dan meminta beliau untuk mengajar di kota Baghdad.

Sejak saat itu beliau dikenal secara luas dan lebih banyak lagi orang yang datang menuntut ilmu padanya. Pada waktu itulah madzhab beliau mulai dikenal. Imam Syafii mengajar banyak orang yang kelak sebagian dari mereka menjadi ulama-ulama yang besar pula. Diantara murid-murid beliau yaitu Imam Ahmad bin Hanbal yang kelak dikenal sebagai salah seorang Imam madzhab juga.

 

Pulang ke Mekkah

Setelah beberapa waktu berada di Baghdad, beliau bermaksud pulang ke Mekkah. Memakan waktu perjalanan beberapa hari akhirnya beliau sampai di Mekkah. Waktu itu tahun 181 H. Sebelum masuk kota Mekkah, beliau mendirikan kemah di luar kota. Penduduk Mekkah keluar untuk menyampaikan salam dan menyambutnya.

Beliau lalu membagi-bagikan seluruh emas dan perak yang beliau miliki kepada mereka. Hal itu dilakukan untuk melaksanakan wasiat ibunya ketika beliau datang ke Mekkah. Begitulah, Imam Syafi’i masuk ke kota Mekkah dalam keadaan tidak membawa apapun, sama seperti ketika beliau keluar dari Mekkah dalam keadaan tidak membawa benda apapun.

Beliau tinggal di Mekkah selama 17 tahun. Selama berada disana beliau mengajarkan ilmu pada manusia. Madzhab Imam Syafi’i tersebar di antara jamaah haji dan mereka membawa madzhab tersebut ke tempat asal mereka masing-masing.

Selama 17 tahun tinggal di Mekkah beliau mendengar wafatnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang dahulu pernah ditemuinya di kota Kufah. Setelah itu wafat pula Harun al-Rasyid.

Setelah sekian lama tinggal di Mekkah beliau lantas kembali ke kota Baghdad. Di sana beliau melanjutkan kegiatan mengajar selama beberapa waktu. Setelah itu beliau bermaksud hendak pergi ke Mesir. Ketika penduduk Baghdad mendengar akan kepergian orang mulia ini, maka mereka keluar untuk perpisahan dengan beliau.

 

Menetap di Mesir

Di negeri Mesir segera saja penduduknya jatuh hati pada Imam Syafi’i. Para ulama negeri itu juga memuliakannya dan meminta beliau untuk mengajar di masjid Amru bin Ash. Beliau mengajar sehabis subuh sampai zhuhur. Imam Syafi’i adalah orang pertama yang mengajar ilmu hadits di Mesir sampai zhuhur. Setelah itu beliau melanjutkan pelajaran di rumahnya.

Para ulama dan orang-orang jenius terpelajar lainnya datang menyimak pelajaran yang beliau sampaikan baik di masjid maupun di rumah. Di antara orang-orang yang belajar pada beliau yang kelak menjadi ulama terkenal adalah Muhammad bin Abdullah bin Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Yaqub Yusuf  bin Yahya Al-Buwaiti, Rabi’ Al-Jizi dan lain sebagainya.

Ketika di Mesir ini pula Imam Syafi’i banyak menulis kitab yang berisi madzhab beliau. Di antara kitabnya adalah Al-Umm, Imla’ al-Shaghir, Jizyah, Ar-Risalah dan lain sebagainya.

 

  1. KARYA-KARYA IMAM SYAF’I
  2. Al-risalah al-qadimah (kitab al-hujjah)
  3. Al-risalah al-jadidah.
  4. Ikhtilaf al-hadits.
  5. Ibthal al-istihsan.
  6. Ahkam al-qur`an.
  7. Bayadh al-fardh.
  8. Sifat al-amr wa al-nahyi.
  9. Ikhtilaf al-malik wa al-syafi`i.
  10. Ikhtilaf al- iraqiyin.
  11. Ikhtilaf muhammad bin husain.
  12. Fadha`il al-quraisy
  13. Kitab al-umm
  14. Kitab as-sunan

 

  1. WAFATNYA IMAM SYAFI’I

Beliau wafat pada malam jum’at akhir dari bulan Rajab tahun 204 H setelah mengalami sakit selama beberapa waktu. Setelah isya ruh beliau yang suci kembali ke Rahmatullah di pangkuan murid beliau, yaitu Rabi’ al-Jizy. Jenazah beliau dimakamkan dengan iringan tangis dan rintih duka cita dari segenap penduduk Mesir.

 

الى حضرة النبي المصطفى محمد صلى الله عليه وسلم، و الى حضرة الإمام الشافعي رحمه الله ونفعنا به وبعلومه فى الدارين آمين، الفاتحة … 7×

(الفقير الى رحمة ربه الكبير: إثنا أرواني بن الوالد كيهي الحج إمام حنبلي والوالدة ياهي الحجَّة درة الناصحة بنت الشيخ محمد أيوب بن الشيخ عبد المعين بن الشيخ إبراهيم اليَمَني زوج ياهي زينب بنت الشيخ سليمان موئسس المعهد سيلا تومفوك وواضع القرية سيلاتومفوك وزوجته الأولى إبنة الملك بصولوا بالجوي الوسطي الإندونيسي)

IKUT SALAH SATU MADZHAB EMPAT

:: IKUT SALAH SATU MADZHAB EMPAT ::

Sayyid ‘Ali Al-Khowwas rahimahullah pernah ditanyai oleh seseorang mengenai hukumnya mengikuti suatu madzhab tertentu dalam beragama. Saya tambahkan penjelasan agar jelas, misalnya, madzhab syafi’i, hanafi, maliki, maupun hambali. Apakah bermadzhab itu wajib? Apakah boleh mengambil hukum langsung dari Al Qur’an dan hadits? Apakah bermadzhab itu bukaannya justru menjauhkan dari Allah dan Rasul-Nya karena “hanya” mengikuti pendapat ulama?

Jawaban dari beliau adalah “Ya”. “Wajib”. “Anda wajib mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti dari syari’at agama islam (maksudnya belum tuntas mempelajari Al Qur’an dan hadits nabi beserta segala keilmuannya) karena dikhawatirkan terjatuh pada kesesatan”. Keterangan dari kitab Al-Mizan As-Sya’rani.

Sementara dalam kitab Al-Fatawi Al-Kubro diterangkan, “Sesungguhnya mengikuti suatu madzhab (pada masa pengarang kitab tersebut, apalagi masa kini) hanya boleh kepada imam yang empat (Maliki, Syafi’i, hanafi, Hambali) dikarenakan madzhab mereka sudah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain”.

Hal itu sesuai dengan sabda nabi SAW: “Ittabi’uu As-Sawaada Al-A’dzoma”, ikutilah mayoritas (umat islam). Ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada disebabkan wafatnya para imam mereka. Madzhab yang benar yang tersisa tinggallah empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas di seluruh penjuru dunia. maka mengikuti salah satu dari empat madzhab tersebut berarti mengikuti mayoritas umat islam. Sebaliknya, keluar dari empat madzhab tersebut berarti keluar dari mayoritas. Artinya, melanggar sabda nabi SAW.

Jadi, bermadzhab itu wajib. Sedangkan langsung mengambil hukum dari Al-Qur’an dan hadits sebenarnya boleh selama mampu. Namun, mengikuti ulama madzhab tentu lebih selamat dikarenakan beliau berfatwa sesudah tuntas dalam memahami syari’at. Mereka lebih dekat masanya kepada Nabi dibanding kita. Mereka lebih alim dan lebih berhati-hati dari pada kita. Lagi pula para alim ulama di segenap penjuru zaman ini hampir semuanya merasa tidak mampu apalagi menandingi kealiman para ulama salafussolih tersebut. Maaf, apalagi kita. Para ulama itu bermadzhab kepada empat madzhab.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita lebih alim dari pada para guru alim ulama kita apalagi para ulama mujtahid empat tersebut? Sebenarnya, kita bermadzhab itu juga mengikuti Al Qur’an dan hadits dengan cara yang lebih selamat dibanding kita memahaminya sendiri. Tapi, membaca dan terus belajar Al Qur’an, hadits dan semua keilmuannya tetaplah suatu keniscayaan bagi setiap muslim. Dan, tentunya, saya tetap menghormati serta menghargai pendapat saudaraku muslimin yang tidak mau bermadzhab. Wallahu a’lam bis-showab.

Capres Cawapres 2014

Assalamu’alaikum Wr Wb.
Menyapa kepada Semua Saudaraku dan Sahabatku..
Salam silaturrahmi dan hormat penuh takdzim.. Menjura dalam..
Selamat bersua kembali, mohon perkenan ribuan maafnya atas diri yang faqir dan hina ini yang sudah lama tak menjalin silaturrami dengan Tuanku semua..

Bismillahirrahmanirrahiim..
Isu politik terhangat kita tentu masalah Pilpres. Siapa pilihan Saudaraku? Monggo, silakan sesuai hati nurani Anda? Siapa pilihan saya? Tentunya terserah saya, dan hak saya untuk merahasiakannya.

Saudaraku, Prabowo-Hatta adalah manuisa. Jokowi-JK juga manusia. Mereka semua punya salah dan tidak sempurna sama sekali. Namun mereka juga punya kebaikan seberapapun nilainya. Kita harus maklum terhadap sebuah kesalahan makhluk, terutama yang bernama manusia. Sebab kita semua tahu, “Al Insanu Mahaalu Al Khotho’i Wa An Nisyaani”, manusia adalah tempatnya salah dan lupa.

Maka kebanyakan manusia punya luput dan kesalahan betapapun baiknya mereka. Begitupun, kebanyakan mereka pasti punya kebaikan meski sangat buruk dan jahat.
Saudaraku, saya pikir, kampanye Capres dan Cawapres yang terbaik adalah dengan menjelaskan progam-progam mereka yang pastinya bertujuan menjunjung kedaulatan bangsa dan negara, menyejahterakan serta memakmurkan rakyatnya. Mereka harus menjelaskan cara paling cerdas dan praktis sehingga mudah mewujudkan semua progam itu. Jurinya biar masyarakat yang kini sudah cerdas.

Apa hasilnya? Siapa yang berjaya? Hanya Allah SWT yang paling tahu saat ini. Sementara kita hanya menunggu “takdir”-Nya itu mewujud di negeri tercinta. Yang penting, kita pilih calon yang terbaik menurut kita. Jika perlu, beristikhorohlah kepada Allah agar dituntun-Nya kepada pilihan terbaik. Sisanya, tawakkal kita kepada Sang Sutradara Agung, Allah Rabbul ‘Alamiin. Kita hanya berdoa, semoga siapapun pemimpin kita akan membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi kita semua. Amin.

Salam damai penuh persatuan dan kesatuan..
Jayalah Indonesiaku!